Selasa, 06 Oktober 2015

Baca Ulas : Sabtu Bersama Bapak


Judul                     : Sabtu Bersama Bapak
Penulis                   : Adhitya Mulya
Penerbit                : Gagas Media
Tahun Terbit       : 2015 (Cetakan Kelima belas)
Tebal                     : 277 halaman

Blurb:
Ini adalah sebuah cerita. Tentang seorang pemuda yang belajar mencari cinta. Tentang seorang pria yang belajar menjadi bapak dan suami yang baik. Tentang seorang ibu yang membesarkan mereka dengan penuh kasih. Dan…, tentang seorang bapak yang meninggalkan pesan dan berjanji selalu ada bersama mereka.
---

Bagian awal novel ini dibuka dengan pak Gunawan Garnida dibantu istrinya, Itje Garnida menyiapkan segala keperluan untuk membuat rekaman video. Pasangan suami istri itu berasal dari Bandung. Saat pembuatan video tersebut,usia pak Gunawan 38 tahun, dan istrinya 35 tahun. Saat itu bulan Desember tahun 1991.

Pada suatu sabtu sore di tahun 1993, bulan Januari. Ibu Itje untuk pertama kalinya memperlihatkan rekaman video yang suaminya telah persiapkan kepada dua anak laki-laki mereka yaitu Cakra berusia lima tahun , dan Satya berusia delapan tahun. Dan Sabtu-sabtu berikutnya sesuai dengan jadwal yang diberikan ibu Itje, sehabis Ashar, Cakra dan Satya akan menghabiskan “Sabtu Bersama Bapak”.

Cakra dan Satya pun dewasa. Satya telah menikah dan bahkan telah dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Cakra masih dalam usahanya mendapatkan gadis pujaan, dan ibu Itje…usaha restorannya maju pesat.

Cerita lalu bergulir diantara usaha Cakra mencari jodoh, Satya yang mengalami masalah rumah tangga, dan ibu Itje yang menyembunyikan ‘sesuatu’ dari anak-anaknya tercinta. Selama itu pula, video-video dari pak Gunawan terus menemani mereka.

---

Saya sudah cukup lama mengetahui ada karya Adhitya Mulya terbaru, yaitu novel Sabtu bersama Bapak ini, novel ini pertama kali cetak tahun 2014. Tetapi saya baru berkesempatan dan mendapatkan mood untuk membeli novel ini baru di pertengahan tahun 2015, dan tidak langsung dibaca juga, pembaca apalah saya ini.

Begitu saya mulai membacanya, waaahhh….. novel ini bagus. Beneran, karena saya cukup tahu beberapa karya Adhitya sebelumnya. Pertama kali karyanya yang berkesan buat saya itu novel Gege Mengejar Cinta, awalnya pinjam trus punya sendiri trus novelnya hilang, entah setelah dipinjam siapa *nangis*. Lalu Jomblo, yang ini pinjam saja, tidak berniat mempunyai pribadi karena saya sudah telanjur terganggu dengan penokohan dalam filmnya. Travelers’Tale yang dikerjakan keroyokan bareng tiga penulis lain termasuk salah satunya adalah Ninit Yunita. Terakhir yang memuat tulisan Adhitya Mulya adalah buku Indonesia Jungkir Balik.

Cerita di novel Sabtu Bersama Bapak meninggalkan kesan baik untuk saya, pesan-pesan pak Gunawan untuk kedua anaknya, sesungguhnya juga dapat jadi pesan bagi kita yang membacanya. Pesan-pesan bagaimana menjadi laki-laki yang baik, bagaimana dalammenuntut ilmu, bagaimana kelak menjadi suami dan ayah yang dapat menjadi teladan, sangat bisa diterima. Ditambah lagi, ketika saya membaca novel ini, suasana hati saya sedang mendukung sekali,dan merasa sangat setuju dengan pendapat-pendapat pak Gunawan.

Kalau mau mengambil kuitpan dari pak Gunawan, terlalu banyak yang bisa dikutip. Meskipun banyak petuah-petuah bijak dari Bapak, tetapi novel ini juga tidak kehilangan cirri khas Adhitya Mulya, tidak kehilangan unsur jenakanya, sehingga rasanya komplit .
Satu hal yang ingin saya sampaikan juga, bahwa saya mengapresiasi Adhitya dalam memakai sebutan Sunda, sehingga kesan bahwa para tokoh dalam novel ini berasal dari tatar Sunda lebih terasa. Saya salut, ketika di halaman 268 saya membaca ini:

“Come on Boys… sarapan dari Bi Ayu!” seru Rissa.

Lalu di halaman selanjutnya,

Ayu menggendong si  Bungsu, “Kamu, aku bawa pulang aja ,ya? Tinggal di sini aja ya? Sama aku? Sama Mang Saka? Kiss kiss.”

Apa yang menarik? Pemakaian kata ‘Bi’ dan ‘Mang’, mungkin sepele, tapi tidak juga. Saya merasa perlu mengapresiasi, karena sekarang ini, banyak orang Sunda yang sudah meninggalkan menggunakan kata ‘Mang’ untuk kata ganti paman dan menggantinya dengan sebutan ‘Om’, juga banyak  yang meninggalkan kata ‘Bi atau Bibi’ dan menggantinya dengan ‘tante’ atau ‘aunty’. Katanya kalau pakai kata ‘Bi’ atau ‘Mang’ itu kampungan, gak kekinian, padahal itu bahasa daerah, yang kalau sudah semakin banyak yang tidak menggunakan maka bahasa itu akan hilang. Kekhawatiran saya terlalu jauh ya? Bisa jadi…  Tapi hal itu juga yang membuat saya terlalu senang ketika membaca novel ini. Kang Adhitya Mulya, saya salut akang mempertahankan menulis sebutan itu dalam bahasa Sunda.

Untuk review  atau ulasan kali ini, saya mau ngasih nilai. Nilainya dari saya membandingkan dengan karya Adhitya Mulya sebelumnya. Saya kasih nilai lima bintang untuk Sabtu Bersama Bapak.

Selamat membaca, happy reading, wilujeng maca…. ^^

Baca Ulas: Mecca, I'm Coming! Karya Salamun Ali Mafaz

Mecca I'm Coming by Salamun Ali Mafaz My rating: 3 of 5 stars Tokoh utamanya Eddy dan Eni dari Desa Timpik. Eddy seorang pemuda biasa...