Judul :
Sabtu Bersama Bapak
Penulis :
Adhitya Mulya
Penerbit : Gagas Media
Tahun Terbit :
2015 (Cetakan Kelima belas)
Tebal :
277 halaman
Blurb:
Ini adalah sebuah cerita. Tentang seorang pemuda yang belajar
mencari cinta. Tentang seorang pria yang belajar menjadi bapak dan suami yang
baik. Tentang seorang ibu yang membesarkan mereka dengan penuh kasih. Dan…,
tentang seorang bapak yang meninggalkan pesan dan berjanji selalu ada bersama
mereka.
---
Bagian awal novel ini dibuka dengan pak Gunawan Garnida
dibantu istrinya, Itje Garnida menyiapkan segala keperluan untuk membuat
rekaman video. Pasangan suami istri itu berasal dari Bandung. Saat pembuatan
video tersebut,usia pak Gunawan 38 tahun, dan istrinya 35 tahun. Saat itu bulan
Desember tahun 1991.
Pada suatu sabtu sore di tahun 1993, bulan Januari. Ibu Itje
untuk pertama kalinya memperlihatkan rekaman video yang suaminya telah
persiapkan kepada dua anak laki-laki mereka yaitu Cakra berusia lima tahun ,
dan Satya berusia delapan tahun. Dan Sabtu-sabtu berikutnya sesuai dengan
jadwal yang diberikan ibu Itje, sehabis Ashar, Cakra dan Satya akan
menghabiskan “Sabtu Bersama Bapak”.
Cakra dan Satya pun dewasa. Satya telah menikah dan bahkan
telah dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Cakra masih dalam usahanya
mendapatkan gadis pujaan, dan ibu Itje…usaha restorannya maju pesat.
Cerita lalu bergulir diantara usaha Cakra mencari jodoh,
Satya yang mengalami masalah rumah tangga, dan ibu Itje yang menyembunyikan ‘sesuatu’
dari anak-anaknya tercinta. Selama itu pula, video-video dari pak Gunawan terus
menemani mereka.
---
Saya sudah cukup lama mengetahui ada karya Adhitya Mulya
terbaru, yaitu novel Sabtu bersama Bapak ini, novel ini pertama kali cetak
tahun 2014. Tetapi saya baru berkesempatan dan mendapatkan mood untuk membeli
novel ini baru di pertengahan tahun 2015, dan tidak langsung dibaca juga,
pembaca apalah saya ini.
Begitu saya mulai membacanya, waaahhh….. novel ini bagus.
Beneran, karena saya cukup tahu beberapa karya Adhitya sebelumnya. Pertama kali
karyanya yang berkesan buat saya itu novel Gege Mengejar Cinta, awalnya pinjam
trus punya sendiri trus novelnya hilang, entah setelah dipinjam siapa *nangis*.
Lalu Jomblo, yang ini pinjam saja, tidak berniat mempunyai pribadi karena saya
sudah telanjur terganggu dengan penokohan dalam filmnya. Travelers’Tale yang
dikerjakan keroyokan bareng tiga penulis lain termasuk salah satunya adalah
Ninit Yunita. Terakhir yang memuat tulisan Adhitya Mulya adalah buku Indonesia
Jungkir Balik.
Cerita di novel Sabtu Bersama Bapak meninggalkan kesan baik
untuk saya, pesan-pesan pak Gunawan untuk kedua anaknya, sesungguhnya juga
dapat jadi pesan bagi kita yang membacanya. Pesan-pesan bagaimana menjadi
laki-laki yang baik, bagaimana dalammenuntut ilmu, bagaimana kelak menjadi
suami dan ayah yang dapat menjadi teladan, sangat bisa diterima. Ditambah lagi,
ketika saya membaca novel ini, suasana hati saya sedang mendukung sekali,dan
merasa sangat setuju dengan pendapat-pendapat pak Gunawan.
Kalau mau mengambil kuitpan dari pak Gunawan, terlalu banyak
yang bisa dikutip. Meskipun banyak petuah-petuah bijak dari Bapak, tetapi novel
ini juga tidak kehilangan cirri khas Adhitya Mulya, tidak kehilangan unsur
jenakanya, sehingga rasanya komplit .
Satu hal yang ingin saya sampaikan juga, bahwa saya
mengapresiasi Adhitya dalam memakai sebutan Sunda, sehingga kesan bahwa para
tokoh dalam novel ini berasal dari tatar Sunda lebih terasa. Saya salut, ketika
di halaman 268 saya membaca ini:
“Come on Boys… sarapan dari Bi Ayu!” seru Rissa.
Lalu di halaman selanjutnya,
Ayu menggendong si
Bungsu, “Kamu, aku bawa pulang aja ,ya? Tinggal di sini aja ya? Sama
aku? Sama Mang Saka? Kiss kiss.”
Apa yang menarik? Pemakaian kata ‘Bi’ dan ‘Mang’, mungkin
sepele, tapi tidak juga. Saya merasa perlu mengapresiasi, karena sekarang ini,
banyak orang Sunda yang sudah meninggalkan menggunakan kata ‘Mang’ untuk kata
ganti paman dan menggantinya dengan sebutan ‘Om’, juga banyak yang meninggalkan kata ‘Bi atau Bibi’ dan
menggantinya dengan ‘tante’ atau ‘aunty’. Katanya kalau pakai kata ‘Bi’ atau
‘Mang’ itu kampungan, gak kekinian, padahal itu bahasa daerah, yang kalau sudah
semakin banyak yang tidak menggunakan maka bahasa itu akan hilang. Kekhawatiran
saya terlalu jauh ya? Bisa jadi… Tapi
hal itu juga yang membuat saya terlalu senang ketika membaca novel ini. Kang
Adhitya Mulya, saya salut akang mempertahankan menulis sebutan itu dalam bahasa
Sunda.
Untuk review atau
ulasan kali ini, saya mau ngasih nilai. Nilainya dari saya membandingkan dengan
karya Adhitya Mulya sebelumnya. Saya kasih nilai lima bintang untuk Sabtu
Bersama Bapak.
Selamat membaca, happy reading, wilujeng maca…. ^^